Pengertian Kewirausahaan

Kewirausahaan adalah kemampuan kreatif dan inovatif yang dijadikan dasar, kiat, dan sumber daya untuk mencari peluang menuju sukses. Inti dari kewirausahaan adalah kemampuan untuk menciptakan sesuatu yang baru dan berbeda melalui berfikir kreatif dan bertindak inovatif untuk menciptakan peluang.

Kreativitas adalah kemampuan untuk mengembangkan ide-ide baru dan cara-cara baru dalam pemecahan masalah dan menemukan peluang (thinking new thing). Sedangkan inovasi adalah kemampuan untuk menerapkan kreativitas dalam rangka pemecahan masalah dan menemukan peluang (doing new thing). Jadi, kreativitas adalah kemampuan untuk memikirkan sesuatu yang baru dan berbeda.

Kewirausahaan Dalam Pandangan Islam

Untuk meraih kesejahteraan hidup di dunia dan akhirat, Islam tidak hanya mengajarkan kepada pemeluknya untuk beribadah mahdah, tapi juga sangat mendorong umatnya untuk bekerja keras, kendati demikian bukan berarti tanpa kendali. Antara iman dan amal harus ada interaksi. Artinya, betapapun keras nya usaha yang dilakukan, harus selalu dalam bingkai hukum Islam. Dan salah satu kerja keras yang didorong Islam adalah berwirausaha. Kata wirausaha dalam istilah asingnya dikenal sebagai enterpreneur.

Kewirausahaan adalah semangat, sikap, perilaku dan kemampuan seseorang dalam menangani usaha dan kegiatan yang mengarah pada upaya mencari, menciptakan, menerapkan cara kerja, teknologi dan produk baru yang dilakukan berdasarkan Ridho-Nya, karena semuanya akan dikembalikan kepada-Nya. Karena lahir-mati, takdir dan rezeki adalah merupakan kekuasaan absolut di luar instrumen rasionalitas manusia.

Max Weber (1864-1920) asal Jerman yang mempelajari Islam dan agama-agama lainnya seperti Budha, Hindu, Yahudi dalam “The Protestant Ethic and The Spirit of Capitalism”(1958), mengatakan bahwa kalangan Islam tidak mendukung proses akumulasi pertumbuhan ekonomi kapitalisme secara keseluruhan. Sebaliknya praktik-praktik sufistik dalam Islam pada umumnya cenderung “melupakan dunia”.

Kalangan muslimpun kurang bersemangat dalam melakukan kegiatan ekonomi, di samping tidak tekun dan juga kurang perhitungan dalam proses bisnis. Singkatnya, mereka (umat Islam) tidak mempunyai “calling” atau panggilan ilahiah terhadap pertumbuhan kapitalis.

Dilihat dari pandangan Max Weber tentang Islam tadi, bagi kita kaum muslim sangat sulit untuk menerima, dan malah kita bertanya, Islam yang bagaimana yang dipelajari oleh orang eropa ini ? Seberapa jauh seorang Weber mempelajari Islam? Seberapa lama waktu yang digunakan dalam proses pembelajaran, serta bagaimana paham Weber mempelajari Islam ?

Walaupun pemahaman Weber tentang Islam kurang memberikan “value” bagi kalangan Islam, tapi setidaknya telah mengusik kalangan muslim sendiri. Ada kecenderungan dalam memahami Islam, Weber dipengaruhi oleh pemikiran orientalisme tentang Islam. Ada tiga hal ysng melatar belakangi pemikiran Max Weber itu. Pertama, kekagumannya terhadap peradaban sejarah eropa. Kedua, pemikirannya dipengaruhi oleh para orientalis tentang Perang Salib, dimana para orientalis tersebut menganggap zaman Islam sudah mulai memudar. Dan ketiga, sikap rasionalitas yang dikedepankannya, berbanding terbalik dengan kedaulatan Allah SWT yang bersifat absolut.

Sikap rasionalitas merupakan unsur liberalisasi yang tumbuh subur pada saat revolusi Prancis, dimana sikap tersebut jika dihadapkan pada Islam, akan bertolak belakang. Penyebabnya ada dua, yakni akal merupakan instrumen yang mempunyai keterbatasan, dan kedaulatan, mestinya diletakkan di luar wilayah manusia. Dalam hal ini Allah SWT.

Pandangan Weber tentang Islam yang berhubungan dengan etos kerja, secara teologis dan sosiologis sangat tidak masuk akal. Hal ini tercermin dari kandungan Al-Qur’an di mana tidak kurang 112 dari 41 surat yang disinggung dalam kaitan kata rezeki di mana merupakan terminologi dari etos kerja di samping amalan-amalan lainnya seperti tijarah, barakah, infak, shadakah, bahkan riba. Kesemuanya tidak terlepas dari semangat kerja yang diperlihatkan oleh kaum muslim secara nyata.

Semagat kewirausahaan dalam kalangan muslim juga terlihat dari pepatah bahasa Arab “Inna al-samaa la tumtiru dzahaban wa la fidhatan” di mana diartikan langit tidak menurunkan hujan emas dan perak, tetapi perlu dengan semangat kerja yang tidak mengenal lelah. Atau kata hikmah yang bisa diimplimentasikan ke kehidupan yang nyata “isy ka annaka ta’isyu abada” atau “I’mal lid dunyyaka kaannakata’isyu abada”. Dimana terminologi “berkerjalah bagi duniamu seakan-akan kamu hidup abadi” yang menunjukkan kepada semua orang bahwa etos kerja orang muslim sangat bisa untuk diandalkan.

Hubungan sosiologi dari semangat etos kerja akan terlihat dari “penghasilan”, keuntungan dan akumulasi kapital. Di mana manusia merupakan khalifah di muka bumi yang mempergunakan semua sumber daya yang ada di sekitarnya untuk memenuhi keinginan yang relatif tidak terbatas dalam semangat kewirausahaan.

Allah SWT berfirman dalam surat Al-Jumu’ah ayat 10 :

فَإِذَا قُضِيَتِ الصَّلاَةُ فَانْتَشِرُوا فِي اْلأَرْضِ وَابْتَغُوا مِن فَضْلِ اللهِ وَاذْكُرُوا اللهَ كَثِيرًا لَّعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ

“Apabila telah ditunaikan shalat, maka bertebaranlah kamu di muka bumi; dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak supaya kamu beruntung”.

Dari ayat tersebut di atas Alla memerintahkan kepada kita untuk menunaikan kewajiban kita kepada-Nya yang pada gilirannya nanti Allah pun akan memberikan hak hambanya yang senantiasa patuh dan taat kepada-Nya.